Oleh
Ustadz Zainal Abidin Syamsuddin
Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam, yang menurunkan Al Qurโan yang mulia sebagai petunjuk dan peringatan bagi seluruh makhluk dari kalangan jin dan manusia. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Muhammad sebagai utusan Allah dan manusia sempurna rohani dan akalnya, tinggi kedudukannya serta mulia budi pekerti dan akhlaknya, sehingga ucapan dan tindakan Beliau menjadi panutan dan suri tauladan.
KEMULIAAN BULAN RAJAB
Tidak ada satu dalilpun yang shahih โyang secara khusus- menyebutkan keutamaan bulan Rajab, sebagaimana telah dituturkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Tabyin Al Ujab : โโTidak ada hadits shahih yang pantas untuk dijadikan hujjah dalam masalah keutamaan bulan Rajab, (dengan) puasa di dalamnya dan shalat malam khusus pada malam harinyaโ. Beliau juga berkata : โSungguh Imam Abu Ismail Al Harawi Al Hafizh telah mendahuluiku menetapkan demikian. Kami meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih. Demikian pula kami meriwiyatkan dari selainnyaโ.
Demikian pula kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya, diantaranya : Al โAllamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751 H), beliau berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96 : โSetiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu kedustaan yang diada-adakanโ.
Al โAllamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H), beliau berkata di penutup kitab Safar As Saโadah, hlm. 150 : โDan bab shalat raghaib, shalat nishfu syaโban, shalat nishfu rajab, shalat iman, shalat malam miโraj โฆ, bab-bab ini, di dalamnya tidak ada sesuatu pun yang sah secara pokokโ. Beliau juga berkata : โBab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada satupun yang tsabit, bahkan sebaliknya ada riwayat yang memakruhkannyaโ.
Meskipun demikian, Rajab memiliki keutamaan; karena Rajab termasuk bulan haram dan terhormat, sebagaimana firman Allah.
,
ุฅูููู ุนูุฏููุฉู ุงูุดููููููุฑู ุนูููุฏู ุงูููู ุงุซูููุง ุนูุดูุฑู ุดูููุฑูุง ูููู ููุชูุงุจู ุงูููู ููููู
ู ุฎููููู ุงูุณููู
ุงูููุงุชู ููุงููุฃูุฑูุถู ู
ูููููุข ุฃูุฑูุจูุนูุฉู ุญูุฑูู
ู
Sesunguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah ketika Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haramโฆ[At-Taubah/9:36]
Empat bulan haram tersebut adalah Rajab, Dzulqaโdah, Dzulhijjah dan Muharram. Diantara empat bulan itu tiga berurutan (Dzulqaโdah, Dzulhijjah dan Muharram), sedangkan Rajab terpisah.
Secara spesifik, tidak ada penjelasan tentang keutamaan Rajab. Namun secara umum kemuliaan Rajab masuk ke dalam bulan-bulan yang haram dan terhormat di hadapan Allah. Firman Allah Taโala.
ุฐููููู ุงูุฏูููููู ุงูููููููู ู ูููุงูุชูุธูููู ูููุง ููููููููู ุฃูููููุณูููู ู
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat ituย โฆ [At-Taubah/9:36].
Qatadah berkata: Amal shalih lebih besar pahalanya pada bulan haram, dan melakukan kezhaliman pada bulan itu dosanya lebih besar dibanding pada bulan-bulan selainnya, meskipun kezhaliman di setiap keadaan tetap besar dosanya.
Ibnu Jajir menukil riwayat dari Ibnu Abbas berkata, dia berkata: Empat bulan dikhususkan dalam penghormatan, karena setiap maksiat lebih besar dosanya dan setiap amal shalih berpahala lebih besar.
PERANG PADA BULAN RAJAB
Para ulama berselisih dalam mengharamkan perang pada bulan haram. Sebagian berpendapat haram, kemudian di nasakh berdasarkan firman Allah Taโala
ููููุงุชููููุง ุงููู ูุดูุฑููููููู ููุขูููุฉู ููู ูุง ููููุงุชูููููููููู ู ููุขูููุฉู
โโฆdan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanyaโฆ [At-Taubah/9:36]
Yaitu, secara umum, seolah-olah Allah Taโala mengatakan โpada bulan haram maupun bulan lainnya.
Demikian ini adalah pendapat Qatadah, Athaโ Al Khurasani, Az Zuhri, Sufyan Ats Tsauri. Mereka berkata : โSesungguhnya Nabi berperang pada perang Hawazin sambil menusuk dengan tombaknya dan mengepung mereka pada bulan Syawal dan sebagian bulan Dzulqaโdahโ.
Yang lain berpendapat, bahwa hukumnya tidak dinasakh. Ibnu Juraij berkata : โAtha bin Abi Rabah bersumpah dengan nama Allah Taโala, bahwa tidak halal bagi manusia berperang di tanah haram dan pada bulan haram, kecuali mereka diperangi di dalamnya, dan hukum ini tidak dinasakhโ.
Ibnu Jarir menukil dari Qatadah, dia berkata : โโฆ dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali mereka memulai mengobarkan peperangan di tempat itu, kemudian Allah menasakh ayat ini dengan firmanNya.
ููุฅูุฐูุง ุงููุณูููุฎู ุงููุฃูุดูููุฑู ุงููุญูุฑูู ู ููุงููุชููููุง ุงููู ูุดูุฑููููููู ุญูููุซู ููุฌูุฏูุชูู ูููููู ู
Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka. [At-Taubah/9 : 5].
Dan inilah pendapat Hanafiyah, Thawus dan juga Jabir, Mujahid, Ibnu Juraij, sebagai pendapat yang rajih (kuat). Dalam musnad Ahmad 3/334, 345, Tafsir Ibnu Jarir dengan kedua sanadnya dari Jabir, dia berkata : โRasulullah tidak pernah berperang pada bulan haram, kecuali bila diperangi atau Beliau tidak berperang hingga bulan-bulan haram berakhirโ. Dan inilah pendapat yang dirajihkan oleh Al Alusi di Rauhul Bayan 2/108, Al Qurtubi di Al Jamiโ Al Ahkam Al Qurโan 2/351, Ar Razi di dalam tafsirnya 5/142, Ibnul โArabi di Al Ahkam 1/108, Al Jashas di Al Ahkam. Dengan demikian kita mengetahui bahwa keharaman perang pada bulan haram tetap dan tidak dinasakh.
NAMA DAN ASAL USUL RAJAB
Rajab berasal dari lafadz tarjib, yang berarti mengagungkan. Dan menurut pendapat mayoritas, lafadz Rajab termasuk musytaq. Ini pendapat yang paling kuat, karena ia bentukan dari :ย ุฑุฌุจ ููุงูุงย , artinya dia memuliakan dan mengagungkannya karena penghormatan orang Arab kepadanya. Oleh karena itu, Rajab dikatakan al murajab (yang diagungkan, dimuliakan).
Al Qadhi Abu Yaโla berkata : โDinamakan bulan haram karena mengandung dua makna. Pertama, diharamkan berperang di dalamnya dan orang-orang jahiliyah pun meyakininya pula. Kedua, karena melanggar larangan-larangan pada bulan ini lebih berat dosanya dibanding pada bulan selainnya, demikian pula ketaatan. Dari Zadul Masir, 3/432.
PENYIMPANGAN DALAM MENYAMBUT BULAN RAJAB
1.ย Menyambut Rajab Dengan Beristighfar.
Sebagian umat Islam menyambut bulan Rajab dengan memperbanyak membaca istighfar, berpegang dengan hadits dari โAli Radhiyallahu โanhu secara marfuโ : โPerbanyaklah istighfar pada bulan Rajab, karena Allah setiap saat membebaskan dari neraka pada bulan ituโ. Padahal hadits ini dhaโif, dikeluarkan Ad Dailami dalam Al Firdaus 1/81 no. 247, dan di dalamnya terdapat Asbagh bin Tsubatah, dia seorang perawi yang matruk yang diisyaratkan diucapannya penulis. Lihat Tadzkirah Al Maudhuโat, 116 dan Tanzih Asy Syariโah 2/333.
Diantara bacaan istighfar itu ialah:
ุฃูุณูุชูุบูููุฑู ุงูููู ุฐูุง ุงููุฌููุงููู ููุงููุฅูููุฑูุงู ู ู ููู ุฌูู ูููุนู ุงูุฐููููููุจู ููุงููุขุซูุงู ู
Aku mohon ampun kepada Allah yang memiliki keagungan dan kemuliaan dari segala dosa.
Dari Abdullah Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu โalaihi wa sallam bersabda:
ุฃูุณูุชูุบูููุฑู ุงูููู ุงููุนูุธูููู ู ุงูููุฐููู ูุงู ุฅููููู ุฅููุงูู ูููู ุงููุญูููู ุงูููููููููู ู ููุฃูุชูููุจู ุฅููููููู ุชูููุจูุฉู ุนูุจูุฏู ุธูุงููู ู ููููููุณููู ูุงู ููู ููููู ููููููุณููู ู ูููุชูุง ูููุงู ุญูููุงุฉู ูููุงู ููุดูููุฑูุง, ุณูุจูุนู ู ูุฑููุงุชู, ุฃูููุญูู ุงูููู ุชูุนูุงููู ุฅูููู ุงููู ููููููููู ุงููู ูููููููููููู ุจููู : ุฃููู ุฎูุฑููููุง ุตูุญูููููุฉู ุฐูููููุจููู.
Aku mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung yang tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia Yang Maha Hidup lagi berdiri sendiri mengurus makhlukNya, dan aku bertaubat kepadaNya dengan taubat seorang hamba yang menzhalimi dirinya sendiri yang tidak dapat menahan kematian, kehidupan dan hari kiamat, sebanyak tujuh kali maka Allah akan mewahyukan kepada dua malaikat yang mewakili degan berfirman : โBakarlah catatan (lembaran) dosa-dosanyaโ.
Syaikh Ali Muhammad Qari dalam kitab Al Adab Fi Rajab berkata: โKita merasa cukup dengan tsabitnya hadits ini, karena perhatian Al Hafizh Ad Damiri dengan menukil dalam tulisannya, dia diam dan tidak mengomentarinya. Andaikata hadits ini maudhuโ (palsu), niscaya dia menerangkannya, karena dia imam di bidang ini dan minimal derajatnya dhaโif, sedangkan hadits dhaโif diamalkan dalam fadhail aโmal sesuai dengan kesepakatan.
Sehingga Syaikh Masyhur Hasan Salman berkomentar : Diamnya Ad Damiri, tidak bukan berarti hadits ini menjadi tsabit (sah), apalagi para hufazh dan ahli hadits telah menyatakan batilnya seluruh hadits-hadits yang mengkhususkan suatu ibadah pada bulan Rajab.
2.ย Shalat Raghaib
Adapun tata cara shalat Raghaib sebanyak 12 rakaโat dengan 6 kali salam dilaksanakan setelah shalat Maghrib pada Jumโat pertama bulan Rajab, membaca surat Al Qadr 3 kali dan Al Ikhlas 12 kali setelah membaca Al Fatihah dan setelah selesai, membaca shalawat Nabi 70 kali, kemudian berdoโa dengan doโa yang dia kehendaki, maka rijal haditsnya majhul, dan telah dijelaskan oleh para ahli hadits, bahwa ia maudhuโ (palsu)[1].
Orang yang antusias terhadap shalat Raghaib, berpegang dengan hadits dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda: Janganlah kalian melupakan malam Jumโat pertama dari bulan Rajab, karena malam itu disebut oleh Malaikat dengan Raghaib; maka tidaklah ada seorang yang berpuasa pada hari Kamis pertama dari bulan Rajab, kemudian shalat antara Maghrib dengan Isyaโ sebanyak dua belas rakaโat, kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Hadits ini disebutkan secara lengkap bersama tata caranya dalam kitab Al Maudhuaat, karya Ibnul Jauzi. Begitu juga dalam kitab Al Ihya, karya Al Ghazali dan Al Hafizh Al Iraqi berkata: โHadits ini palsuโ.
Abu Faraj Ibnul Jauzi berkata: โIni adalah hadits palsu yang dibuat secara dusta atas nama Rasulullah oleh Ahli Bidโah yang sangat ektrim, yaitu Ali bin Abdullah Jahdhamโ.
Abu Syamah berkata: โDiantara (yang menjadi) faktor hadits ini dituduh palsu adalah besarnya pahala yang diobral dan janji pengampunan dosa yang fantastis, sehingga membuat orang awam tergiur dan meremehkan kewajiban yang asasi. Dalam lafazh hadits terdapat indikasi, bahwa hadits ini palsu, karena waktu shalat ini antara Isyaโ dengan atamah. Dan tidak mungkin lafazh hadits ini berasal dari Nabi, karena Beliau melarang menamai shalat Isya dengan atamah.
Dan dalam Syarah Muslim, karya An Nawawi disebutkan : Para ulama berhujjah terhadap makruhnya (tidak disukai) shalat Raghaib dengan hadits.
ููุง ุชูุฎูุชูุตูููุง ููููููุฉู ุงููุฌูู ูุนูุฉู ุจูููููุงู ู ู ููู ุจููููู ุงููููููุงููู ููููุง ุชูุฎูุตูููุง ููููู ู ุงููุฌูู ูุนูุฉู ุจูุตูููุงู ู
โJanganlah kamu mengkhususkan malam Jumโat untuk shalat, dan hari Jumโat untuk berpuasaโ.[2]
Dengan demikian shalat Raghaib termasuk bidโah yang munkar, termasuk bidโah yang sesat; karena di dalamnya ada kemungkaran yang jelas. Allah memerangi pembuat dan penciptanya. Dan sesungguhnya para imam telah menulis karangan-karangan yang bagus dalam menjelaskan keburukan, kesesataan, kebidโahan dan jeleknya dalil-dalil yang dipakai (dan kesalahan serta kesesatan pelakunya) yang jumlahnya lebih banyak dari yang dibatasi.
Pendapat An Nawawi ini juga menyatakan sesat dan bodoh kepada orang yang shalat Raghaib pada malam Jumโat, baik sendirian maupun berjamaโah dengan alasan ada anjuran yang membolehkannya. Padahal semua riwayat seputar shalat Raghaib adalah palsu dan penuh dengan pendustaan atas nama Rasulullah.
Syaikh Masyhur Salman berkata: Hadits ini maudhuโ (palsu) dan tidak disyariโatkan beribadah kepada Allah dengan hadits maudhuโ dalam semua keadaan. Maka shalat Raghaib adalah bidโah yang sesat, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan ahli tahqiq diantara mereka.
3. Puasa Pada Hari Jumat Dan Qiyamul Lail Pada Malam Harinya di Bulan Rajab
Ada sebagian orang berpendapat, bahwa para ulama berbeda pendapat dalam memakruhkan pengkhususan hari Jumโat untuk berpuasa dan qiyamul lail pada malamnya. Sedangkan pendapat yang paling kuat adalah makruh tanzih. Oleh sebab itu, tidak boleh mengkhususkan hari Jumโat untuk puasa dan qiyamul lail dan meremehkan malam yang lainnya.
Dalam Jamiโ Al Ushul, setelah menyebutkan shalat Raghaib beserta tata caranya dan berdoโa setelahnya, dinyatakan : โHadits ini termasuk yang aku temukan di kitab Razin, dan aku belum pernah menemukannya dalam salah satu kutubus sittah, dan hadits ini dicela di dalamnyaโ[3]. Dan yang paling tinggi, hadits ini berstatus dhaโif[4].
Mereka juga berdalih, bahwa Syaikh Ibnu Shalah memilih pendapat bolehnya shalat tersebut, demikian pula Hujjatul Islam (Al Ghazali, pen.) dalam Al Ihya dan yang lainnya dari para syaikh dan ulama.
Cara berdalih seperti itu jelas kurang tepat dan salah, apalagi semua ulama sepakat tentang bidโahnya shalat Raghaib. Semua telah dibantah secara tuntas dan jelas oleh โIz bin Abdus Salam, bahwa tidak ada satu dalilpun yang menganjurkan shalat tersebut. Bahkan Abu Syamah Al Maqdisi dalam Al Inshaf telah membuat penilaian secara adil dan bijaksana.
Abu Syamah memaparkan hujjah mereka masing-masing, dan beliau memberi bantahan tuntas satu per satu, kemudian membuat kesimpulan secara adil dan bijak, bahwa shalat tersebut hukumnya bidโah, sebagaimana dikatakan oleh muridnya, yaitu Imam Nawawi dalam Al Majmuโ 4/56.
Adapun sikap Ibnu Shalah terhadap shalat tersebut sangat goncang dan kabur, sebab beliau pernah berfatwa melarangnya, kemudian berbalik membolehkannya. Dan Al โIz telah membuat bantahan yang cukup bagus, bahwa sesungguhnya beliau pernah shalat malam Jumโat mengimami umat manusia, sedangkan manusia tidak tahu kalau itu dilarang. Maka dia takut jika melarangnya akan dikatakan โApakah kamu tidak melakukan shalat itu?โ Sehingga beliau lebih rela mengikuti hawa nafsu dan menganjurkan orang lain untuk menganggap baik terhadap sesuatu yang tidak dianggap baik oleh syariโat yang suci โฆ
Adapun pernyataan Imam Al Ghazali dalam Al Ihya 1/203 telah dibantah, bahwa beliau sedikit sekali perbendaharaan ilmu haditsnya, sebagaimana dikatakan oleh dirinya sendiri, maka pengukuhan beliau terhadap hadits shalat pada malam Jumโat pertama dari bulan Rajab ini ditolak.
Demikian dikatakan Ath Thurthusi dalam Al Hawadits Wal Bidaโ, hlm. 116-117 dan Abu Syamah dalam Al Baโits, hlm. 33 darinya pula. Apalagi dalam shalat tersebut terdapat sesuatu yang menambahi Al Qurโan dan As Sunnah; bahkan sebaliknya banyak dalil-dalil, baik dari Al Qurโan dan Sunnah menyelisihi tata cara shalat tersebut.
4. Menyalakan Api Pada Malam Jumโat Dari Bulan Rajab.
Adapun menjadikan malam itu untuk berkumpul dan menambahkan api atau semisalnya pada saat itu, maka tidak diragukan lagi, bahwa itu merupakan bidโah yang jelek dan perbuatan yang munkar; karena di dalamnya terdapat pemborosan harta serta menyerupai para penyembah api.
5. Berkumpul Pada Malam Tanggal 27 Rajab.
Ada sebagian manusia membaca kisah Miโraj, berdzikir, melakukan ibadah tertentu dan berkumpul pada malam 27 Rajab untuk merayakannya. Ini merupakan perbuatan bidโah. Tidak ada satupun dalil yang shahih tentang pembacaan doโa-doโa pada malam-malam bulan Rajab, Syaโban maupun Ramadhan. Semua adalah karangan manusia dan bidโah. Seandainya hal tersebut baik, sudah pasti para sahabat telah melakukannya terlebih dahulu. Juga tidak ada dalil pasti yang menetapkan kapan terjadinya peristiwa Israโ, begitu pula bulannya. Permasalahan kepergian dan kepulangan Rasulullah dari Israโ dengan kondisi kasur Beliau yang tidak dalam keadaan dingin, tidak ada dalil yang menerangkannya. Hal ini hanyalah kebohongan belaka.
Benar, ada riwayat bahwa ketika merenovasi bangunan Kaโbah, Abdullah bin Zubair menempatkannya di atas bangunan yang tinggi dan selesai menjelang tanggal 27 Rajab melalui malam-malam yang banyak. Dia menyembelih dua kurban untuk orang-orang fakir dan miskin, dan menyuruh penduduk Makkah ketika itu agar melaksanakan umrah sebagai rasa syukur kepada Allah karena dapat menyempurnakan Baitullah dengan susunan yang disukai Nabi. Meskipun demikian, itu bukan dalil untuk membolehkan acara bidโah pada malam 27 Rajab. Semakin menambah acara tersebut, maka semakin dibenci Allah dan RasulNya, terlebih adanya berbagai kemungkaran yang terjadi, yaitu ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan), menabuh rebana dan menari, serta menyia-nyiakan harta benda.
6. Shalat Pada Malam Isra dan Miโraj
Shalat pada malam Miโraj, shalat malam Lailatul Qadar, shalat pada setiap malam bulan Rajab, Syaโban dan Ramadhan tidak ada satupun yang memiliki dasar yang shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat : Shalat malam 27 Rajab dan shalat malam semisalnya, tidak disyariโatkan menurut kesepakatan para ulama, sebagaimana diungkapkan oleh para ulama yang muโtabar. Tidaklah orang yang menciptakan shalat seperti ini, kecuali orang bodoh dan pelaku bidโah.
Semua isi kisah Miโraj yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas adalah dusta, kecuali beberapa huruf saja. Kisah anak Sultan, orang yang banyak melakukan dosa dan tidak shalat kecuali pada bulan Rajab. Ketika meninggal, tampak pada dirinya tanda-tanda orang shalih. Rasulullah menanyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi, dijawab: Bahwa orang tersebut bersungguh-sungguh dan berdoโa pada bulan Rajab. Kisah ini adalah dusta yang tidak boleh dibaca dan diriwayatkan. Yang sangat mengherankan, sebagian orang yang bergelar ulama menceritakan kisah ini kepada masyarakat.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Al Hafizh As Suyuti dalam Al Jamiโ Al Kabir : โDi dalam bulan Rajab terdapat satu malam, orang yang beramal pada malam itu dicatat baginya 100 kebaikan, dan malam itu adalah tiga malam pada akhir bulan Rajab. Maka orang yang shalat 12 rakaโat pada malam itu dengan membaca Al Fatihah pada tiap rakaโat dan (surah lain dari Al Quran, bertasyahud tiap 2 rakaโat dan salam di akhirnya), dan setelah shalat mengucapkan : Subhanallah, walhamdulillah wa laa ilaha illa allah, (Allahu Akbar) 100 kali dan (istighfar 100 kali) dan membaca Shalawat Nabi 100 kali dan berdoโa untuk dirinya sesuai yang diinginkannya dari urusan dunia dan akhiratnya, dan pada waktu paginya berpuasa, maka sesungguhnya Allah akan mengabulkan semua doโanya, kecuali doโa dalam maksiatโ[5]. Hadits di atas diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Aban dari Anas dengan isnad yang sangat dhaโif. Dan dia menjelaskan di Ihya, bahwa itu adalah shalat malam Miโraj[6].
7. Mengkhususkan Umrah Pada Bulan Rajab.
Tidak ada keutamaan secara khusus umrah pada bulan Rajab dengan bersandar kepada dalil shahih, karena Rasulullah tidak pernah mengerjakannya, tidak pernah menyetujui salah seorang sahabat yang melakukannya. Dan apabila Beliau menganjurkan umrah pada bulan Rajab secara khusus, maka itu tidak tsabit.
Diriwayatkan dari โUrwah bin Zubair, dia berkata : โAku dan Ibnu Umar pernah bersandar di pintu kamar โAisyah, dan sungguh kami mendengar suara siwaknyaโ. Dia (Urwah) berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Umar,โWahai, Abu Abdurrahman. Apakah Nabi pernah umrah pada bulan Rajab?โ Dia menjawab,โYa.โ Maka aku bertanya kepada โAisyah,โWahai, Bunda. Apakah engkau tidak mendengar yang telah dikatakan oleh Abu Abdurrahman?โ Aisyah menjawab,โApa yang dikatakannya?โ Aku berkata,โDia mengatakan bahwa Nabi umrah empat kali. Salah satunya pada bulan Rajab.โ Maka Aisyah berkata,โSemoga Allah mengampuni Abu Abdurrahman. Demi agamaku, tidaklah Beliau umrah pada bulan Rajab, dan tidaklah Beliau umrah pada salah satu umrahnya, kecuali dia bersamanya. [Beliau tidak umrah pada bulan Rajab saja].โ Dia (Urwah) berkata,โIbnu Umar mendengar, tetapi dia tidak berkata โyaโ ataupun โtidakโ, bahkan diam.โ[7]
Ini menunjukkan keraguan Ibnu Umar, sehingga sama saja baginya, baik dia mencabut kembali perkataannya ataupun tidak. Sesungguhnya dia menyendiri, maka perkataannya syadz lagi munkar, tidak disepakati oleh seorang pun sahabat yang mulia dan tidak pula oleh para imam yang alim.
8. Puasa Pada Bulan Rajab.
Kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya juga, diantaranya Al โAllamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751H). Beliau berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96 : โSetiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu (merupakan) kedustaan yang diada-adakanโ.
Al โAllamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H). Beliau berkata di penutup kitab Safar As Saโadah, hlm. 150 : โDan bab shalat Raghaib, shalat Nishfu Syaโban, shalat Nishfu Rajab, shalat Iman, shalat malam Miโraj, โฆ bab-bab ini -di dalamnya- secara pasti tidak ada sesuatu pun yang sahโ. Dan beliau juga berkata : โBab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada sesuatu pun yang tsabit, bahkan sebaliknya ada riwayat yang memakruhkannyaโ.
Imam Suyuti berkata di dalam Al Amru Bil Ittibaโ Wa nahyu โAnil Ibtidaโ, lembaran 14/1 : Asy Syafiโi rahimahullah berkata,โAku membenci seorang laki-laki yang menjadikan puasa (Rajab) sebulan penuh sebagaimana puasa Ramadhan. Demikian pula puasa sehari diantara hari-hari yang lainnya.โ
Abu Al Khatab menyebutkan di dalam kitab Adaโu Ma Wajaba Fi bayani Wadhโi Al Wadhiโin Fi Rajab, dari orang kepercayaan, Ibnu Ahmad As Saji Al Hafizh, beliau berkata,โImam Abdullah Al Anshari, syaikh negeri Khurasan tidak pernah puasa Rajab, bahkan melarangnya. Beliau berkata,โTidak ada sesuatu pun yang sah datang dari Rasulullah tentang keutamaan Rajab dan puasa padanyaโ.โ
Beliau berkata,โSesungguhnya para sahabat membenci puasa Rajab. Diantara mereka adalah Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu โanhuma. Umar pernah mengumpamakan orang yang sering puasa Rajab seperti dirrah (susu yang melimpah-limpah, lihat Mukhtarush Shihah, pent.).
Aku berkata : Permisalan Umar ini terdapat di dalam Al Muโjam Al Ausath, karya Thabrani dan di dalamnya ada orang yang bernama Al Hasan bin Jabalah. Al Haitsami berkata di dalam Al Majmaโ 13/191,โAku belum pernah menemukan orang yang menyebutkannya, dan rijal hadits yang lainnya tsiqah.โ
Menurut Ibnu Wadhah dalam Al Bidaโ hlm. 44 dan Al Faqihi dalam Kitabu Makkah, sebagaimana dikatakan oleh Abu Syamah Al Maqdisi dalam Al Baโits โAla Inkar Al Bidaโ Wal Hawadits, hlm. 49. Beliau berkata juga : โAbu Utsman Saโid bin Mansur menyandarkannya kepada imam yang disepakati keadilannya dan disepakati mengeluarkan dan meriwayatkannya,โ dan beliau berkata : โIni adalah sanad yang para perawinya disepakati keadilannyaโ.
Ath Thurtusi dalam Al Hawadits Wal Bidaโ, hlm. 129 dan Abu Syamah dalam Al Baโits, hlm. 49 menukil kebencian Abu Bakar pada puasa Rajab.
Sebagai pelengkap, kami sampaikan ucapan Imam Abdullah Al Anshari, menukil dari Asy Suyuthi rahimahullah Taโala : โJika dikatakan puasa Rajab adalah amalan yang baik, maka katakan padanya, mengamalkan kebaikan hendaknya sesuai yang disyariโatkan Rasulullah. Bila kita tahu, bahwa itu dusta atas nama Rasulullah, maka itu keluar dari yang disyariโatkan, dan mengagungkannya termasuk perkara jahiliyah, sebagaimana kata Umar. Umar pernah memukul rajabiyyin, yaitu orang-orang yang berpuasa Rajab. Adapun Ibnu Abbas, seorang ulama Al Qurโan membencinya juga. Dan dikeluarkan oleh Abdurrazaq di dalam Mushannaf 4/292, dari Athaโ dari Ibnu Abbas, bahwa dia membenci seluruh puasa Rajab, agar tidak dijadikan hari raya. Isnadnya shahih, sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Tabyin Al Ajab, hlm. 65, 66 โ Al Misriyyah.
As Suyuti berkata juga : Biasanya bila Ibnu Umar melihat manusia dan apa yang mereka siapkan untuk bulan Rajab, (maka) beliau membencinya. Beliau berkata,โBerpuasalah pada bulan Rajab dan berbukalah, karena dia adalah bulan yang dahulu dimuliakan kaum jahiliyyahโ[8].
At Turthusi dalam Al Hawadits Wal Bidโah, hlm. 129 dan Abu Syamah di dalam Al Baโits, hlm. 49 menyebutkan atsar Ibnu Umar ini. Dan di hlm. 130-131 berkata,โPuasa Rajab dibenci berdasarkan salah satu dari tiga segi. Salah satunya adalah bila orang-orang mengkhususkannya dengan puasa pada setiap tahun, maka orang-orang awam yang tidak tahu akan menyangka (bahwa) itu wajib seperti puasa Ramadhan, atau mungkin sunnah yang tetap yang dikhususkan Rasulullah untuk berpuasa, seperti sunnah-sunnah rawatib. Dan bisa jadi, puasa itu ditentukan karena keutamaan pahalanya dibanding seluruh bulan, sebagaimana puasa โAsy Syura, maka puasa itu dianggap ada karena ada keutamaannya, bukan hanya karena sisi sunnah atau wajibnya.
Andaikata hal ini terjadi karena ada keutamaannya, tentu Rasulullah telah menjelaskan atau Beliau Shallallahu โalaihi wa sallam pernah melakukannya, meskipun sekali seumur hidupnya, sebagaimana Beliau pernah melakukan puasa โAsy Syura. Dan (dalam masalah ini) Beliau tidak pernah melakukanya, sehingga batallah anggapan keberadaan puasa itu, dikarenakan tidak ada keutamaannya. Secara ittifaq, itu bukan fardhu dan bukan pula wajib. Dan secara khusus, tidak ada dalil yang menetapkan anjuran puasa Rajab. Dengan demikian, berpuasa Rajab berarti melakukan secara terus-menerus suatu perkara yang dibenci.
Meskipun begitu, orang-orang yang berpuasa Rajab masih memiliki dalih, bahwa mengamalkan hadits dhaโif dalam keutamaan amal diperbolehkan, karena para ulama ahli hadits dan ahli ilmu bersikap toleran dalam mendatangkan hadits-hadits dhaโif yang berkaitan dengan keutamaan amal.
Pernyataan tersebut terbantahkan dengan dalil sebagai berikut: โSesunguhnya ulama Ahli Hadits toleran dalam mengamalkan hadits-hadits dhaโif, dalam keutamaan amal dengan beberapa syarat[9]. Diantaranya, yang paling penting adalah hendaknya harus dijelaskan sisi kelemahannya, dan hadits tersebut tidak maudhuโ, supaya orang yang mengamalkannya tidak membuat syariโat baru, seperti hadits puasa Rajab, sebagaimana dikatakan Ibnu Qayyim, Fairuz Abadi, Al Hafizh Ibnu Hajar Al โAsqalani, Al Hafizh Abdullah Al Anshari, Ibnu Hammat Ad Dimasqi dan Ibnu Rajab di dalam Lathaiful Maโarif, hlm. 123-127, dan Abu Hafs Al Mushuli di dalam Al Mughni โAnil Hifzhi Wal Kitab, hlm. 371 dan disetujui oleh Abu Ishaq Al Huwaini dalam kritikannya, yaitu Junnatul Murtab, dan selain mereka.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004 M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo โ Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______Footnote
[1]ย Lihat kebidโahannya di Al Inshaf Lima Fi Shalat Ar Raghaib Minal Ikhtilaf, karya Abu Syamah Al Maqdisi. Dia memasukkannya dengan lengkap dalam Al Baโits โAla Inkari Al Bidaโ Wal Hawadits dan Musajalah โIlmiyyah Baina Al Imamaini Al โIz bin Abdul Salam Wa Ibnu Ash Shalah dan Iqtidha Ash Shirat Al Mustaqim, hlm. 283; Al Madkhal, 1/193; Tabyin โAl Ajab Fi Fadhli Rajab, hlm. 47 โ Al Misyriyah; Fatawa An Nawawi, hlm. 26; Majmuโ Fatawa Ibnu Taimiyah, 212; As Sunan Al Mubtadiโat, hlm. 140; Al Maudhuโat, 2/124; Al Laliu Al Masnuโah, 2/57; Tanzih Asy Syariโah, 2/92; Al Majmuโ, 4/56; Safar As Saโadah, hlm. 150 dan Al Amru Bi Al Ittibaโ, lembar 15/1
[2]ย Dikeluarkan Al Bukhari dalam Ash Shahih, 4/232 no. 1985; Muslim dalam Ash Shahih, 2/801 no. 1144; Ahmad dalam Al Musnad, 2/495; At Tirmidzi dalam Al Jamiโ, 12312 no. 740, An Nasaโi dalam As Sunan Al Kubra, sebagaimana di dalam Tuhfah Al Asyraf, 10/351; Ibnu Majah dalam As Sunan, 1/549 no. 1723; Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, 4/302; At Thahawi dalam Syarhu Maโani Al Atsari, 2/78.
[3]ย Jamiโ Al Ushul 6/154 dan dia menisbatkannya ke Razin Al โIraqi dalam Takhrij Ahadits Al Ihya, 1/203, dan dia berkata : maudhuโ.
[4]ย Perkataan Ibnu โAtsir ini tidak bermanfaat, bagaimana sedangkan banyak para ulama yang muโtabar menyatakan bidโah & palsunya shalat raghaib. !!!
[5]ย Dikeluarkan Al-Baihaqi di (Asy-Syuโab) 1/19/ ุฃ dan dia berkata : ini lebih dhaโif dari yang sebelumnya. Dan As-Suyuti menyandarkan kepadanya di (Ad-Duru Al-Mansur) 3/236 & (Al-Jamiโ Al-Kabir) no. 35170-bersama urutannya-Kanzu Al-โAmal & Ibnu Hajar di (Tabyin Al-โAjab) no. 25 dan dia mendhaโifkanya.
[6]ย Yaitu shalat yang bidโah, tidak ada di dalam sunnah yang shahih, sebagaimana dijelaskan Fairuz Abadi (Khatimah Safar As-Saโadah ) hal. 150, dan Al-โIraqi (Takhrij Al-Ihya) &Ibnu Hammad Ad-Dimasqi.
[7]ย Dikeluarkan Al-Bukhari (Ash-Shahih) 3/599-600 no. 1775 & 1776, Muslim (Ash-Shahih) 2/916 no. 1255 dan selain keduanya.
[8]ย Berkata Ibnu Al-Jauzi di dalam (Musykilnya) : โDiamnya Ibnu Umar tidak lepas dari dua keadaan : mungkin dia syak (ragu) maka diam atau dia menyebutkan setelah lupa maka dengan diamnya itu dia kembali kepada perkataannya. Dan โAisyah telah mengoreksi dengan koreksi yang baik.
Dan Anas berkata : โRasulullah umrah empat kali, semuanya di bulan Dzulqaโdahโ. Dan hadits ini menunjukkan kuatnya hafalan โAisyah dan pemahamannya yang bagus.
Az-Zarkasi menukilnya di (Al-Ijabah) hal. 94 cet. Al-Maktab Al-Islami โ Beirut.
[9]ย Disebutkan Ibnu Hajar di Tabyin al-ajab hal. 21 โ Misriyyah dan As-Sakhawi menukilnya di Al-Qaul al-Badiโ hal. 258 dan Al-Albani mentaโliqnya di Shahih Al-JamiโAs-Shaghir 1/48-51 dan di Muqaddimah Shahih At-Targhib wa At-Tarhib 1/24-28 dengan panjang lebar ,rinci dan penting serta bermanfaat.